MUTIARA WEDA: Dari Ngerumpi Menuju Diskusi

6 days ago 2
ARTICLE AD BOX
Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia, baik itu melalui tubuh, kata-kata, atau pikiran, akan menghasilkan keberhasilan atau kegagalan sesuai dengan prinsip keadilan yang diikuti dalam tindakan tersebut.

SAAT Sugihan Jawa, piodalan di Pura Pamaksan bulan September kemarin, saya menyempatkan diri pulang kampung. Saat ngayah ngelilit sate paginya, saya ketemu dengan keluarga besar satu dadia. Di sela-sela itu, kami ngerumpi tentang berbagai hal, wajar jarang ketemu. Ngomong ‘kangin-kauh’ tentang pergantian presiden, keluarga, isu megathrust, bahkan paling serunya tentang Nang Kutir yang kuat mabuk. Pada saat itu di hati terbersit, rasanya dari dulu, tidak saja saat ngayah, saat ngumpul dengan teman se-profesi pun obrolannya hanya sebatas ngerumpi tanpa ujung. Bagaimana kalau rumpian ini menjadi diskusi, tentu banyak hikmah yang bisa dipetik. Bahkan, di kepala ada banyak bersahutan, berandai-andai, jika di bale banjar orang diskusi, di warung kopi orang diskusi, duduk-duduk di parkiran orang diskusi, dosen ketemu dosen diskusi, mahasiswa ketemu mahasiswa diskusi, kapan pun leisure time itu digunakan diskusi, betapa pengetahuan itu menjadi seksi.

Tentu, memancing agar rumpian berubah menjadi diskusi perlu sedikit strategi. Seringkali, kita terbiasa terjebak dalam percakapan yang ringan tanpa menyadari bahwa kita bisa menggali lebih dalam, berbagi pandangan, atau mencari solusi terhadap masalah tertentu. Obrolan ringan seringkali terjebak pada topik yang berubah-ubah tidak jelas. Untuk mengarahkannya menjadi diskusi yang lebih terstruktur, kita sebenarnya bisa memulai dengan topik tertentu yang menarik dan relevan. Misalnya, jika sedang ngobrol tentang Nang Kutir suka mabuk, kita bisa mengubah percakapan menjadi diskusi tentang dampak orang mabuk, alasan mengapa suka mabuk, atau perspektif Hindu tentang mabuk. 

Kita bisa mengganti pertanyaan yang biasa dengan pertanyaan yang lebih mendalam atau bernilai reflektif. Misalnya, alih-alih bertanya, "Anda suka HP merek apa?" bisa diganti dengan, "Kenapa HP merek tertentu lebih diminati di negara tertentu dan kurang di negara lain”. Dengan demikian, orang yang diajak bicara cenderung berpikir lebih jauh dan mulai berdiskusi dengan lebih substansial. Dalam diskusi yang lebih serius, informasi yang didukung oleh fakta, data, atau referensi bisa memperkaya percakapan. Misalnya, saat membicarakan topik tentang pendidikan, alih-alih sekadar ngomongin pengalaman pribadi, kita bisa merujuk pada studi atau hasil riset tentang pentingnya teknologi dalam pendidikan.

Diskusi yang sehat harus melibatkan berbagai perspektif. Pelan-pelan kita giring teman untuk menyampaikan pendapat mereka, bahkan sangat bagus jika berbeda dengan pendapat kita. Ini bisa mengarah pada diskusi yang lebih terbuka dan kaya informasi. Misalnya, dalam topik politik atau sosial, percakapan sekadar “Nih, gua setuju banget!” menjadi “Gimana menurut kamu tentang kebijakan X? Ada perspektif lain yang bisa jadi bahan pertimbangan?” Untuk mengalihkan obrolan santai menjadi diskusi yang lebih serius dan relevan, kita bisa kaitkan topik percakapan dengan isu atau tren terkini yang sedang berlangsung, baik itu di tingkat lokal, nasional, atau internasional. Misalnya, jika sedang ngobrol tentang medsos, kita bisa arahkan ke diskusi tentang pengaruh algoritma media sosial terhadap kesehatan mental.

Terkadang, ‘ngerumpi’ berisikan banyak opini tanpa dasar atau hanya sekadar pernyataan pribadi. Dalam diskusi yang lebih mendalam, kita bisa mengubah percakapan dengan mengajak orang untuk berargumentasi. Ini bisa dilakukan dengan cara mengajukan pendapat yang berlawanan atau menyarankan argumen lain. Tentu, ini mesti disampaikan secara sopan dan menghargai pandangan orang lain. Untuk membuat percakapan lebih konkret dan berbobot, menggunakan contoh nyata atau studi kasus sangat dianjurkan. Pada saat orang sedang berbicara, penting mendengarkan dengan aktif dan kemudian mengajukan tanggapan atau pertanyaan yang memperluas topik diskusi. Ini bisa membuat percakapan tidak hanya mengarah pada topik yang lebih serius, tetapi juga lebih interaktif. 

Jika obrolan mulai terjebak pada keluhan atau hal-hal negatif, kita bisa arahkan percakapan menjadi lebih konstruktif. Misalnya, jika ngerumpi tentang masalah di lingkungan sekitar, coba ajukan ide atau solusi yang bisa dilakukan untuk memperbaiki situasi tersebut. “Gimana kalau kita coba buat program pengumpulan sampah di komunitas kita?” misalnya. Dengan cara-cara ini, obrolan yang tadinya hanya sekadar ‘ngerumpi’ bisa berkembang menjadi diskusi yang lebih berbobot dan membuka wawasan bagi semua pihak. Bagaimana ini bisa terjadi, tentu bisa berkaca dari teks di atas. 7

Read Entire Article